Rabu, 11 Mei 2011

Filosofi udara


             Di sebuah kelas, seorang guru bertanya kepada murid-murid di hadapannya. "Menurutmu, benda apa di dunia ini yang paling baik pada manusia?" Murid-murid tampak berpikir keras. Ada yang tatapannya menyapu seisi kelas, seolah mencari sesuatu. Ada yang bisik-bisik dengan teman sebangku. Dan ada yang tetap diam. "Air, Pak Guru!" jawab seorang anak tiba-tiba. "Kamu benar!" ucap Pak Guru menyambut jawaban seorang muridnya. "Air memang menyediakan kehidupan. Tapi, tidakkah kamu perhatikan, air cuma mengairi manusia-manusia di sekitar aliran sungainya. Manusialah yang harus menjemput air. Bukan sebaliknya!" tanggap Pak Guru begitu lugas. Beberapa saat, suasana kelas hening. "Cahaya, Pak Guru!" ucap seorang murid yang lain. "Kenapa cahaya?" tanya Pak Guru memancing. "Karena cahayalah kita bisa melihat. Bayangkan jika tanpa cahaya. Dunia akan gelap!" jelas si murid begitu mantap. "Kamu juga benar!" jawab Pak Guru. "Tapi, tidakkah kamu perhatikan kalau saat istirahat manusia tak butuh cahaya. Ada saatnya cahaya bisa menemani. Ada saatnya tidak," ungkap Pak Guru kian membuat suasana kelas lebih serius. "Gimana? Ada yang ingin berpendapat?" tanya Pak Guru memecah keheningan kelas yang mulai agak lama. Tapi, yang ditunggu tak juga muncul. Murid-murid tampak bingung. Tiba-tiba, ada seorang murid mengacungkan jari. "Udara, Pak Guru!" ucapnya begitu yakin. "Ya, saya lebih setuju pendapat itu!" ucap Pak Guru memberikan respon positif. "Kenapa, Pak?" tanya murid-murid hampir bersamaan. "Menurut saya," ucap Pak Guru sambil menatap murid-murid begitu serius. "Udara memberi kebaikan dengan mendatangi manusia. Bukan sebaliknya. Tanpa memamerkan diri, ia akan bersusah payah menyelinap di lubang sekecil jarum sekali pun, demi memenuhi kebutuhan manusia. Udara pula yang selalu menemani manusia, di mana dan kapan pun," jelas Pak Guru begitu meyakinkan. Dan murid-murid pun mengangguk setuju. ** Dalam pentas kehidupan, selalu ada pegiat kebaikan. Mereka memberi tanpa pamrih. Mereka pun berlomba untuk bisa menjadi yang paling bermanfaat. Berusaha memberi dengan yang terbaik. Namun, tidak semua yang baik adalah yang terbaik. Bercermin pada tiga makhluk Allah seperti air, cahaya, dan udara mungkin akan menambah nilai kebaikan. Bahwa, produk kebaikan harus mengejar, bukan dikejar. Dan yang menarik, ia selalu bersama dengan yang membutuhkan, walaupun orang tak menganggap keberadaannya. Kalau saja pegiat kebaikan memahami peringkat udara, ia pasti tak akan berpuas diri cuma sebagai air atau cahaya. (eramuslim.com)

Selasa, 10 Mei 2011

Api, Air, Bumi, Udara, 4 Elemen Utama Keseimbangan


       Api, Air, Udara dan Bumi … ke-4 element inilah yang membentuk seorang avatar menjadi sebuah sosok keseimbangan alam dan dunia. itulah yang diceritakan dalam sebuah serial kartun “the last air branded, legend of ang, Avatar” hehe, namun kali ini saya tidak membahas itu, melainkan sesuatu yang lain yang berhubungan dengan filosofi ke-4 element tersebut dalam kehidupan nyata di dunia ini.
      Saya mulai …
      Api, mungkin adalah sebuah luapan2 emosi negatif, seperti dendam, marah, dengki, bahkan nafsu syahwat. Tidak jarang kita sebagai seorang manusia biasa bisa mengalaminya, kita marah, kita mendendam, karena memang itulah manusia, manusia diciptakan selain dikaruniai akal , juga dikaruniai nafsu, dan terkadang akal dapat dikalahkan oleh nafsu ketika kita benar2 tidak mampu mengendalikan nafsu tersebut. Api tersebut mungkin adalah Nafsu, tidak munafik, terkadang sayapun juga mengalaminya, jiwa dan raga ini penuh dengan api yang bergejolak.

       Air, lawan dari api, mungkin adalah sebuah upaya dalam rana mengendalikan api / nafsu dengan menggunakan akal untuk berfikir benar dan salah. Dengan berfikir jernih niscaya hati dan pikiran akan menjadi tenang ketika nafsu/emosi/amarah sedang bergejolak dalam jiwa raga kita. Selain itu air juga gerfungsi untuk menyejukkan, maksudnya adalah ketika kita berfikir menggunakan akal lalu menemukan sebuah kebenaran, maka kita akan menemukan sebuah ketenangan jiwa. Itu cukup mampu untuk mengendalikan gejolak api. Insyallah
        Udara ( Angin ), mungkin seperti ke-Ego-an. Terkadang ketika kita sudah menemukan kebenaran dan kita harus melaksanakannya, di tengah perjalanan kita tidak konsisten dan lalai dari tujuan awal. Layaknya angin, ketika angin berhembus kencang maka ia akan hembuskan tekanan yang tinggi, namun ketika angin itu semilir, tekanan itu akan rendah. Dan juga terkadang angin tidak selalu konsisten akan arah dan tujuannya, sekarang ke arah barat, bisa jadi besok ke arah sebaliknya, timur. Mungkin inilah tantangan konsistensi dalam menjalani kehidupan ini, Ke-Ego-an mirip seperti nafsu, ia juga kadang lepas kendali. Kita sudah menggunakan akal kita, namun Ego/Aku berkata lain, maka percuma saja. Ego identik dengan rasa/harga diri, ke-Aku-an.

         Bumi, simbol dari ketenangan dan kesabaran dan ketegasan. Api yang bergejolak, Angin yang selalu berubah arah. Mungkin inilah solusi selain dari elemen air sebagai penyejuk, pengendali dan penentu benar salah dalam lingkup akal pikir. Bumi, bisa saya artikan adalah sebuah sikap/emosi positif seperti diam, tenang, sabar, dan berlapang dada. Bumi itu kokoh, keras berarti tegas, mempertegas keyakinan kebenaran yang diperoleh dari akal. Dalam bahasa khususnya yaitu hati. Bumi adalah hati. Hati nurani yang menilai. Hati sebuah bisikan2 kebenaran yang timbul ketika kita berada pada suatu pilihan. Akal untuk menilai itu apa benar ataukah salah dan hati nurani senantiasa condong kepada kebenaran.
        Mungkin itulah filosofi kehidupan dalam 4 element. Api, Air, Udara, dan Bumi … Emosi/Nafsu, Akal, ke-Ego-an/ke-Aku-an, dan Hati Nurani. Semoga bermanfaat.....